Saturday, October 11, 2008

Akankah Krisis Ekonomi ke-2 menhantam kita ?


Turbulensi pasar keuangan global kian menjadi-jadi pascabangkrutnya perusahaan investasi raksasa Lehman Brothers pada 15 September 2008. Tak satu negara pun yang terbebas dari amukan bencana finansial ini. Pasar keuangan Indonesia juga karut-marut dihantam sentimen negatif.

Dalam kurun waktu yang sama, nilai tukar rupiah terdepresiasi sekitar 1,6 persen. Dalam perdagangan kemarin, kurs rupiah ditutup di level Rp 9.651 per dollar AS, bahkan sempat menembus nilai Rp. 10.350.

Berawal dari ketamakan

Krisis berawal dari problem yang timbul pada kredit perumahan. Kredit perumahan yang awalnya berjalan baik karena ditujukan kepada nasabah prima akhirnya meluas kepada nasabah-nasabah yang tidak layak. Nasabah yang pernah dilanda kredit macet memperoleh kembali kredit baru. Selain itu, banyak kredit yang diberikan dengan uang muka yang sangat rendah, yaitu lima persen, atau bahkan tanpa uang muka sama sekali. Banyak pula kredit yang hanya mempersyaratkan pembayaran bunga (interest only) dan tidak mewajibkan nasabah membayar cicilan pokok sama sekali.

Mengapa perbankan Amerika sampai amat teledor? Jawabannya adalah karena harga-harga properti naik tajam bertahun-tahun tanpa henti. Dengan harga rumah yang naik terus, nilai jaminan (harga rumah) juga meningkat, sedangkan jumlah pinjaman pokoknya tetap.
Karena itu, dalam perhitungan bank, walaupun tanpa uang muka, jika harga naik 20 persen per tahun, nilai jaminan akan menjadi 120 persen dari harga awal. Sehingga nilai pinjaman dibandingkan dengan jaminan turun menjadi 83 persen. Seolah-olah pada akhir tahun pertama si nasabah sudah membayar uang muka 17 persen. Inilah yang disebut loan to value ratio. Situasi itulah yang membuat bank berani memberikan kredit pemilikan rumah tanpa uang muka. Bermacam-macam kredit itulah yang disebut sebagai subprime.

Apakah kenaikan harga rumah 20 persen itu betul-betul terjadi? Seorang teman Indonesia yang tinggal di Washington, DC, membeli rumah pada 1998 dengan harga US$ 210 ribu dan lima tahun kemudian menjualnya seharga US$ 410 ribu. Dengan situasi itu, seolah-olah ia tinggal lima tahun tanpa membayar, bahkan dibayar. Di banyak kota, kenaikan harganya sering lebih ”gila”. Itulah sebabnya banyak orang memberanikan diri mengajukan pinjaman pembelian rumah kedua untuk disewakan—uang sewanya dipakai untuk membayar cicilan.

Fenomena seperti ini bisa terjadi karena harga rumah naik terus. Hanya, kenaikan harga secara sistemik seperti itu cuma terjadi jika orang yang membeli rumah makin banyak. Juga jika bank terus memasok perekonomian dengan kredit pemilikan rumah yang makin besar. Tapi, karena nasabah bank tidak semuanya nasabah prima, bahkan banyak yang ”kambuhan” kredit macet, penyakit lama itu mulai muncul. Pembayaran cicilan pun mulai seret.

Karena keadaan itu, bank mulai hati-hati menyalurkan kredit. Dampaknya, kehati-hatian bank tersebut menyebabkan harga rumah berhenti naik, bahkan mulai turun. Penurunan harga itu menyebabkan nasabah kredit pemilikan rumah mulai berpikir apakah akan meneruskan cicilan atau ngacir saja. Akhirnya, kredit macet pun membesar. Jadilah problem kemacetan kredit subprime menggelinding seperti bola salju.

Maraknya derivatif subprime

Di Amerika Serikat, industri keuangan sudah demikian ”maju”-nya. Kredit-kredit perumahan itu akhirnya oleh bank yang bersangkutan dikumpulkan dan kemudian disekuritisasi. Ini adalah suatu proses mentransformasikan kredit pemilikan rumah menjadi surat berharga (sekuritas). Istilah yang sering dipergunakan untuk surat berharga yang dijamin oleh kredit pemilikan rumah tersebut adalah mortgage back securities (MBS) dengan varian yang bernama collateralized debt obligation (CDO).

Nasabah tetap membayar cicilan kepada bank asalnya, tapi bank itu kemudian meneruskan pembayarannya kepada pihak yang membeli surat berharga tersebut. Jika pembayaran cicilan lancar, pembayaran dari bank kepada pemegang surat utang juga lancar. Namun, karena pembayaran dari nasabah sebagian mulai batuk-batuk, pembayaran kepada pemilik MBS dan CDO tersebut juga tersendat. Siapa pemegang dua jenis surat utang itu?
Proses sekuritisasi kedua varian surat utang tersebut banyak dibantu oleh lembaga keuangan yang awalnya didirikan pemerintah Amerika untuk tujuan itu, yaitu Fannie Mae dan Freddie Mac. Karena tugas tersebut, kedua lembaga itu juga memberikan jaminan. Juga karena perannya, mereka akhirnya memiliki ”stock” MBS dan CDO yang belum laku atau mereka memang ingin memilikinya.

Dengan peran seperti itu, begitu terjadi kisruh pembayaran cicilan MBS dan CDO, pasar memperkirakan kedua lembaga yang sahamnya sudah dicatatkan di New York Stock Exchange itu pasti rugi besar. Investor pun rame-rame melepas saham kedua perusahaan itu, yang berujung pada anjloknya harga saham. Dalam keadaan yang sudah amat kepepet, pemerintah Amerika menolong kedua lembaga itu.

Lembaga lain yang memiliki MBS dan CDO amat banyak, antara lain bank besar seperti Citigroup atau UBS. Karena nilai kedua jenis surat utang tersebut jatuh, bank-bank itu harus mulai melakukan ”penghapusan” (write down), yang akhirnya membuat mereka rugi dan modalnya tergerus. Investor pun melepas saham bank-bank itu, sehingga harga saham mereka pun ikut ambles.

CDS, derivatif yang sangat beracun

Beberapa bank investasi juga memiliki MBS dan CDO itu, sehingga mereka pun merugi. Tapi ternyata yang menjadi masalah lebih besar adalah ditemukannya instrumen keuangan baru (derivatif) yang bernama credit default swap (CDS).
Instrumen ini pada awalnya punya tujuan baik, yaitu memberikan ”asuransi” bagi pemiliknya jika kredit (bisa obligasi atau surat berharga lain, termasuk MBS dan CDO) yang mereka miliki terkena masalah. Yang tidak baik adalah pelaksanaannya kemudian. Lagi-lagi masalah ini timbul karena dimulai dari ketamakan.

Sebuah perusahaan yang memiliki obligasi ingin melindungi dirinya dari kemungkinan obligor gagal bayar dengan membeli asuransi yang disebut CDS itu. Dengan begitu, mereka memiliki kepastian mengenai nilai obligasi itu meskipun harus membayar premi. Perusahaan yang mengeluarkan asuransi itu di pihak lain juga harus menyisihkan dananya sebagai ”kolateral”. Jika obligasi itu akhirnya gagal bayar, perusahaan tersebut memiliki uang untuk membayar kerugian kepada pihak yang membeli asuransi tadi.

Dalam perjalanannya, perusahaan yang mengeluarkan CDS ternyata banyak yang tidak menyisihkan kolateral. Yang lebih parah, CDS yang sama diperjualbelikan. Dengan cara ini, mereka menerima premi yang besar, sehingga akhirnya dapat menghasilkan ”laba” yang kian besar. Dengan laba yang naik tajam ini, bonus juga sangat besar. Kalau obligasinya tetap lancar, transaksi seperti ini tentu amat menggiurkan. Tapi, karena MBS dan CDO mulai bermasalah, pihak asuransi pun mulai banyak diklaim. Di sinilah kerugian yang sangat besar terjadi.
Jumlah kerugian kolosal itu akhirnya memaksa pemerintah Amerika mengambil langkah darurat. Sebagian lembaga keuangan dibantu, seperti Bear Stearns, Merrill Lynch, dan AIG. Goldman Sachs dan Morgan Stanley juga dibantu dengan diizinkan ”bermutasi” menjadi bank komersial. Yang dibiarkan jatuh adalah Lehman Brothers. Bantuan itu akhirnya dibuat menjadi terstruktur dengan jumlah yang diusulkan US$ 700 miliar.

Beban utang yang menimbulkan keraguan

Upaya penyelamatan US$ 700 miliar mestinya bisa menenangkan pasar. Tapi ternyata jumlah itu menimbulkan keraguan baru, yaitu dari sisi kesehatan keuangan pemerintah Amerika. Inilah inti yang saya bicarakan di awal artikel ini dalam ”Membaca Tanda-tanda Zaman”.
Jumlah utang pemerintah kini mencapai US$ 9,7 triliun dan tiap hari bertambah US$ 1,8 miliar. Dengan upaya penyelamatan itu, batas atas utang pemerintah ditetapkan US$ 11,3 triliun. Jika ini tercapai, rasio utang Amerika terhadap produk domestik bruto akan mencapai 80 persen dan akan naik terus. Pada masa pemerintahan yang akan datang, siapa pun presidennya, bukan tidak mungkin rasionya meningkat menjadi 100 persen.

Karena itu, pemerintah dituntut lebih keras bekerja, mengencangkan ikat pinggang, sehingga meledaknya beban utang itu tidak lepas kendali. Topik itu sampai kini belum menjadi agenda pemerintah Bush. Ini berbeda dibandingkan dengan pemerintah Clinton, yang sukses menekan defisit dan bahkan mencetak surplus anggaran dalam tiga tahun terakhir pemerintahannya. Amerika memiliki tanggung jawab yang amat besar untuk mencegah krisis itu menghancurkan perekonomian dunia.


Detik Detik Krisis

7/9

Departemen Keuangan Amerika mengambil alih dua perusahaan pembiayaan perumahan terbesar: Fannie Mae dan Freddie Mac.
15/9

Lehman Brothers mendaftarkan perlindungan kebangkrutan. Merrill Lynch setuju diakuisisi Bank of America. Peringkat utang American International Group (AIG) diturunkan, sahamnya merosot 60,8 persen. Bank sentral AS (The Fed) menyuntikkan US$ 70 miliar ke pasar. Indeks Dow Jones merosot 4,4 persen, terbesar sejak September 2001. Bursa-bursa Eropa tumbang.
18/9

Pemerintah AS meminta Kongres menyetujui paket penyelamatan ekonomi berupa dana talangan pemerintah (bailout) US$ 700 miliar.
24/9

Presiden George Bush menyatakan perekonomian AS dalam bahaya jika Kongres tidak menyetujui rencana bailout.
26/9

Washington Mutual, bank terbesar di AS, kolaps. Sebagian asetnya dibeli JPMorgan Chase.
29/9

Kongres AS menolak rencana bailout. Indeks Dow Jones merosot 778 poin, terbesar dalam sejarah.
3/10

Kongres akhirnya menyetujui bailout. Presiden Bush meneken UU Stabilisasi Ekonomi Darurat 2008.
8/10

Pukul 11.06 WIB, bursa saham Indonesia (bersama Rusia dan Ukraina) ditutup sementara, setelah indeks saham anjlok 10,3 persen.

Bagaimana dengan Indonesia?

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom Rabu (8/10) di Jakarta menjelaskan, gejolak pasar keuangan dan pasar modal domestik tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena masih sejalan dengan pergerakan pasar global.
Kecuali indeks saham, berbagai indikator moneter, perbankan, dan makroekonomi Indonesia, menurut Miranda, menunjukkan ketahanan relatif lebih baik dibandingkan negara lain.

Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, misalnya, sejak awal tahun hingga kini hanya terdepresiasi 2 persen. ”Bandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami depresiasi 4-7 persen akibat krisis keuangan global,” katanya.
Inflasi Indonesia juga relatif lebih baik karena hanya melonjak dua kali lipat dibandingkan 2007. Negara-negara lain umumnya melonjak 3-4 kali dari tahun sebelumnya. Namun, dilihat dari levelnya, inflasi Indonesia tergolong tinggi, per September 2008 mencapai 12,14 persen.
Pertumbuhan ekonomi domestik, kata Miranda, juga tetap kuat di tengah pelambatan perekonomian global.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad mengatakan, kondisi perbankan, yang menjadi jantung perekonomian, juga memiliki fundamental yang kuat. Itu tecermin dari berbagai faktor, seperti rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), likuiditas, dan permodalan. NPL neto (setelah dikurangi provisi) hanya 1,42 persen, jauh di bawah batas maksimum, 5 persen.
Likuiditas juga masih memadai, tecermin dari rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposits ratio/LDR) yang masih di bawah 80 persen. Ketatnya likuiditas yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh kelangkaan likuiditas yang ada di industri, tetapi lebih karena faktor psikologis dan kepemilikan likuiditas yang tidak merata antarbank.
Banyak bank yang sebenarnya likuiditasnya berlebih enggan meminjamkan ke bank lain karena khawatir sulit mendapatkan likuiditas pada masa mendatang.
Permodalan perbankan domestik, kata Muliaman, juga cukup kuat. Ini tecermin dari rasio kecukupan modal yang sebesar 17 persen, jauh di atas angka minimum 8 persen.
Fundamental yang kuat tersebut akan membuat perbankan tetap optimal melakukan fungsi intermediasi untuk mendorong perekonomian.

Kendati fundamental perekonomian cukup kuat, BI tetap mewaspadai gejolak yang terjadi saat ini dan tetap fokus menjaga nilai rupiah yang tecermin dari inflasi dan nilai tukar.
Atas dasar itulah, kata Miranda, dalam rapat Dewan Gubernur BI dua hari lalu, suku bunga acuan (BI Rate) dinaikkan 25 basis poin menjadi 9,5 persen.
”Ini untuk memberikan sinyal dan arah kepada para pelaku pasar,” kata Miranda.
Untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan 2009, BI ingin memastikan bahwa inflasi tahun 2009 terkendali di kisaran 6,5-7,5 persen. Atas dasar itu, BI Rate disesuaikan menjadi 9,5 persen agar suku bunga riil tetap terjaga di kisaran 2-2,5 persen. Inflasi tinggi amat berbahaya, dapat menurunkan nilai aset yang dimiliki masyarakat golongan bawah.

Dalam jangka pendek, kenaikan BI Rate juga untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang tinggi dari para pelaku pasar. Ekspektasi inflasi yang tinggi telah membuat nilai tukar terpelanting melewati batas psikologis Rp 9.500 per dollar AS.
Menurut Miranda, BI akan menjaga nilai tukar rupiah tidak berfluktuasi secara tajam. Pelemahan rupiah yang tajam sangat merugikan perekonomian karena inflasi yang berasal dari barang impor akan meningkat.

Selain itu, eksportir dan importir juga diliputi ketidakpastian sehingga cenderung wait and see.
Pengamat ekonomi Dradjad Wibowo mengatakan otoritas moneter dan otoritas fiskal harus melakukan upaya lain untuk meredam dampak krisis finansial global.
Menurut dia, kenaikan BI Rate bersifat kontraproduktif karena memicu risiko kredit macet di sektor pertambangan, perkebunan, dan properti.

Sektor riil

Anggota Komisi XI DPR Maruarar Sirait mengatakan, otoritas fiskal seharusnya memanfaatkan situasi saat ini dengan memperkuat perekonomian domestik. Caranya, antara lain, dengan memberi insentif pada industri lokal, seperti tekstil.
”Sebetulnya inilah momen yang tepat untuk memperkuat dan mempercepat implementasi kebijakan dengan berbagai insentif untuk sektor mikro,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan Rachmat Gobel.

Menurut Rachmat, peluang tetap terbuka dari sejumlah keunggulan yang kini ada dalam perekonomian Indonesia, seperti pasar dalam negeri yang besar, peluang investasi yang masih terbuka luas, dan sejumlah produk unggulan di pasar ekspor.
Untuk itu, menurut Rachmat, selain melalui sosialisasi langkah ini harus diikuti upaya menerapkan SNI secara lebih tegas dan luas, termasuk membendung masuknya barang ilegal.
”Berdasarkan sejumlah survei, termasuk Bank Dunia, Indonesia mempunyai peluang yang lebih baik dibandingkan sejumlah negara pesaing asalkan iklim investasi segera dibenahi,” katanya.

Untuk sektor ekspor, meski permintaan di pasar tradisional, yaitu AS, Jepang, dan Eropa, turun, peluang yang cukup besar tetap terbuka, terutama ke negara-negara Asia seperti China, India, kawasan Timur Tengah, dan Rusia.

(Dikutip dari berbagai sumber; diantaranya : Cyrillus Harinowo, Kompas, Tutut Herlina, Sigit Wibowo, Fwan, M Fajar Marta, Stafanus Osa, dll.)

2 comments:

Anonymous said...

semoga saja krismon ke 2 tidak terjadi di Indonesia.

Indonesia saja belum sepenuhnya pulih dari krismon 98, masa mau krismon lagi?

Blackstone said...

Semoga emang kita mampu bertahan dari krisis sekarang ini.